Senin, 21 Mei 2012

PEMUKIMAN KOTA


PEMUKIMAN KOTA
A.    Pengertian
Pemukiman kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Ciri fisik kota meliputi hal sebagai berikut:
  • Tersedianya tempat-tempat untuk pasar dan pertokoan
  • Tersedianya tempat-tempat untuk parkir
  • Terdapatnya sarana rekreasi dan sarana olahraga
Ciri kehidupan kota adalah sebagai berikut:
  • Adanya pelapisan sosial ekonomi misalnya perbedaan tingkat penghasilan, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
  • Adanya jarak sosial dan kurangnya toleransi social diantara warganya.
  • Adanya penilaian yang berbeda-beda terhadap suatu masalahdengan pertimbangan perbedaan kepentingan, situasi dan kondisi kehidupan.
  • Warga kota umumnya sangat menghargai waktu.
  • Cara berpikir dan bertindak warga kota tampak lebih rasional dan berprinsip ekonomi.
  • Masyarakat kota lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan social disebabkan adanya keterbukaan terhadap pengaruh luar.
  • Pada umumnya masyarakat kota lebih bersifat individu sedangkan sifat solidaritas dan gotong royong sudah mulai tidak terasa lagi.







B.     Teori  Struktur Ruang Kota

Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal yaitu:
  • Teori Konsentris (Burgess, 1925)
Teori Konsentris
Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
1. Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank, museum, hotel, restoran dan sebagainya.
2. Zona peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonomi. Daerah ini sering ditemui kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini dihuni penduduk miskin. Namun demikian sebenarnya zona ini merupakan zona pengembangan industri sekaligus menghubungkan antara pusat kota dengan daerah di luarnya.
3. Zona permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini yaitu working men's homes.
4. Zona permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan kelas proletar.
5. Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan elit, perumahan dan halaman yang luas. Sebagian penduduk merupakan kaum eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
6. Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang yang memasuki daerah belakang (hinterland) atau merupakan batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran.
  • Teori Sektoral (Hoyt, 1939)
  •  
Teori Sektoral
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.
1. Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
2. Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
3. Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh.
4. Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
5. Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat.
  • Teori Inti Berganda (Harris dan Ullman, 1945)
Teori Inti Berganda
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu growing points. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti retailing, distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain. Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.
1. Pusat kota atau Central Business District (CBD).
2. Kawasan niaga dan industri ringan.
3. Kawasan murbawisma atau permukiman kaum buruh.
4. Kawasan madyawisma atau permukiman kaum pekerja menengah.
5. Kawasan adiwisma atau permukiman kaum kaya.
6. Pusat industri berat.
7. Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran.
8. Upakota, untuk kawasan mudyawisma dan adiwisma.
9. Upakota (sub-urban) kawasan industri




  • Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955).
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.
  • Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980)
Teori Konsektoral dilandasi oleh struktur ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut. Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.
  • Teori Historis (Alonso, 1964)
DPK atau CBD dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi.
  • Teori Poros (Babcock, 1960)
Menitikberatkan pada peranan transportasi dalam mempengaruhi struktur keruangan kota. Asumsinya adalah mobilitas fungsi-fungsi dan penduduk mempunyai intensitas yang sama dan topografi kota seragam. Faktor utama yang mempengaruhi mobilitas adalah poros transportasi yang menghubungkan CBD dengan daerah bagian luarnya. Aksesibilitas memperhatikan biaya waktu dalam sistem transportasi yang ada. Sepanjang poros transportasi akan mengalami perkembangan lebih besar dibanding zona diantaranya. Zona yang tidak terlayani dengan fasilitas transportasi yang cepat.


Permukiman kota tidak bisa lepas dari bentuk fisik buatan manusia (urban artifact) dalam skala besar yang dapat menggambarkan nilai-nilai kultural masyarakat yang ada didalamnya. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Eko Budiharjo (1993), bahwa karya-karya arsitektur tampil sebagai wajah kota yang dihasilkan oleh pemeran dan pelaku pembangunan sesuai dengan latar belakang budaya masyarakat. Dalam permukiman kota penampilannya sering bersifat simbolis, berskala manusia, memiliki kekhasan dengan mosaik kultural yang beragam dan menampilkan perkembangan ruang dan massa dalam kurun waktu tertentu.
Di dalam wilayah perkotaan juga menyuguhkan mosaik permukiman masyarakat yang khas dengan motif dominasi tunggal dalam skala kawasan. Keberadaan aset ini dapat mengisahkan, tata cara hidup, budaya dan peradapan masyarakatnya. Ini dapat mengungkapkan hasil karya arsitektur kota sebagai social work of art, sehingga harus ada usaha pengungkapan karya budaya lokal yang telah terbukti menciptakan rasa tempat (sense of place), rasa memiliki dan rasa kebanggaan bagi warga kota serta menjadi identitas pada kawasan kota tersebut. Permukiman kota disini dapat dilihat lingkungan fisik yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai sosial-budaya masyarakat. Menurut Rapoport (1969), yang merupakan produk budaya tertentu merupakan aset, didalamnya mengandung makna atau konsepsi yang dapat digali keberhasilan dan kegagalan suatu bentuk penanganan fisik lingkungan.
Terdapat lima tahap kontras yang menunjukkan sikap pemerintah terhadap penyediaan permukiman kota, antara lain :
1. Tahap I (Tahun 1950 - 1960-an) :
Pemerintah negara berkembang hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai akar dari permasalahan ekonomi, sedangkan pertumbuhan ekonomi semestinya tumbuh dan pendapatan semestinya meningkat. Pada tahapan ini pemerintah masih tidak mempunyai aksi, hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai akar dari permasalahan ekonomi saja.
2. Tahap II (Tahun 1960-1970-an) :
Pemerintah mulai menyadari bahwa permukiman informal dilihat sebagai masalah sosial. Pada tahapan ini pemerintah mengerahkan institusi dan dana untuk pembangunan public housing (misal : rumah susun) dan permukiman kumuh(slum area) dilenyapkan (salah satunnya dengan cara penggusuran).
3. Tahap III (Tahun 1970-1980-an) :
Pemerintah mulai menyadari bahwa permukiman informal dapat dianggap sebagai permukiman permanen dari kota (kondisi ini dianggap bahaya yang jika tidak ditangani). Pada tahapan ini pemerintah yang pada umumnya ingin eksistensi negara berkembang menjadi negara maju mengadakan adanya program rumah inti (site and service program).
4. Tahap IV (Tahun 1980-1990-an) :
Pemerintah sudah sadar bahwa bahwa penduduk yang tinggal di pemukiman informal telah berkontribusi banyak untuk ekonomi kota dengan apa yang disebut sebagai sektor informal, seperti penyediaan tenaga kerja (buruh) dan barang murah. Pada tahapan ini pemerintah lebih meningkatkan program pada tahapan III untuk merealisasikannya, tidak perlu melalui proses penggusuran.
5. Tahap V (Tahun 1990-sekarang) :
Pemerintah sudah menyadari bahwa perlu adanya institusi atau kelembagaan khusus yang memikirkan proses di tahap IV agar dapat terakomodasi, salah satunya yaitu pemerintah harus memberikan tindakan yang berorientasi dalam mendukung kegiatan/ usaha para penghuni permukiman informal. Pada tahapan ini pemerintah memastikan adanya sumber daya untuk membangun rumah tersedia dan terjangkau untuk semua kalangan (khususnya bagi para penghuni perumahan informal yang tergolong masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah).

C.    Permasalahan Permukiman Kota
Menurut Kirmanto (2002), isu-isu perkembangan permukiman yang ada pada saat ini adalah (1) perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha; (2) konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada suatu kelompok dalam pembangunan perumahan dan permukiman; (3) alokasi tanah dan ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan perumahan yang cenderung mempengaruhi tata ruang sehingga berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah yang bersangkutan; (4) terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang mengalami tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi sumber daya alam; dan (5) komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan yang terfokus pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru, berorientasi ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan menguntungkan. Kirmanto (2002) juga menyebutkankan isu-isu perkembangan pembangunan permukiman yang akan datang ialah (1) urbanisasi di daerah tumbuh cepat sebagai tantangan bagi pemerintah untuk secara positif berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (2) perkembangan tak terkendali daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh; dan (3) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global.Pengertian kota secara sistematis dapat dikelompokkan menjadi enam tinjauan, yakni dari segi (1) yuridis administratif, (2) morfologikal, (3) jumlah penduduk, (4) kepadatan penduduk, (5) jumlah penduduk plus kriteria tertentu, dan (6) fungsi kota dalam suatu organic region (Yunus 1989). Menurut Bintarto (1983), kota dari segi geografi dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis, atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan meterialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya. Menurut Yunus (1987), permasalahan permukiman perkotaan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah. Bintarto (1983) melihat kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup kota dari dua segi, yakni (1) dari segi fisis, berupa gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam, seperti air yang sudah tercemar dan udara yang sudah tercemar, serta (2) dari segi masyarakat atau segi sosial, berupa gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri dan dapat menimbulkan kehidupan yang tidak tenang dan tidak tenteram. Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan material bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal, serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam ini mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan seringkali menumbuhkan pemukiman kumuh (Keman 2005).


PENUTUP
Pemukiman kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal yaitu:
·         Teori Konsentris
·         Teori Sektoral
·         Teori Inti Berganda
·         Teori Ketinggian Bangunan
·         Teori Konsektoral
·         Teori Historis
·         Teori Poros
Permukiman kota tidak bisa lepas dari bentuk fisik buatan manusia (urban artifact) dalam skala besar yang dapat menggambarkan nilai-nilai kultural masyarakat yang ada didalamnya.
Menurut Kirmanto (2002), isu-isu perkembangan permukiman yang ada pada saat ini adalah (1) perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha; (2) konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada suatu kelompok dalam pembangunan perumahan dan permukiman; (3) alokasi tanah dan ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan perumahan yang cenderung mempengaruhi tata ruang sehingga berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah yang bersangkutan; (4) terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang mengalami tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi sumber daya alam; dan (5) komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan yang terfokus pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru, berorientasi ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan menguntungkan.