PEMUKIMAN
KOTA
A.
Pengertian
Pemukiman
kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh
kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai
fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Ciri fisik kota meliputi hal sebagai berikut:
- Tersedianya tempat-tempat untuk pasar dan pertokoan
- Tersedianya tempat-tempat untuk parkir
- Terdapatnya sarana rekreasi dan sarana olahraga
Ciri kehidupan kota adalah sebagai berikut:
- Adanya pelapisan sosial ekonomi misalnya perbedaan tingkat penghasilan, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
- Adanya jarak sosial dan kurangnya toleransi social diantara warganya.
- Adanya penilaian yang berbeda-beda terhadap suatu masalahdengan pertimbangan perbedaan kepentingan, situasi dan kondisi kehidupan.
- Warga kota umumnya sangat menghargai waktu.
- Cara berpikir dan bertindak warga kota tampak lebih rasional dan berprinsip ekonomi.
- Masyarakat kota lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan social disebabkan adanya keterbukaan terhadap pengaruh luar.
- Pada umumnya masyarakat kota lebih bersifat individu sedangkan sifat solidaritas dan gotong royong sudah mulai tidak terasa lagi.
B. Teori Struktur Ruang Kota
Teori-teori
yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal yaitu:
- Teori Konsentris (Burgess, 1925)
Teori
Konsentris
Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK)
atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya
tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan
sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat
aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua
bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District)
dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di
luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan
dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan
(warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage
buildings).
1. Zona
pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat
pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank, museum, hotel, restoran dan
sebagainya.
2. Zona
peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona ini
tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonomi. Daerah ini
sering ditemui kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini
dihuni penduduk miskin. Namun demikian sebenarnya zona ini merupakan zona
pengembangan industri sekaligus menghubungkan antara pusat kota dengan daerah
di luarnya.
3. Zona
permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni oleh
para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah,
ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah
susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini
yaitu working men's homes.
4. Zona
permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks
perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu.
Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan kelas proletar.
5. Wilayah
tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan
elit, perumahan dan halaman yang luas. Sebagian penduduk merupakan kaum
eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
6. Zona
penglaju (commuters), merupakan daerah yang yang memasuki daerah
belakang (hinterland) atau merupakan batas desa-kota. Penduduknya
bekerja di kota dan tinggal di pinggiran.
- Teori Sektoral (Hoyt, 1939)
Teori
Sektoral
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki
pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.
1. Sektor
pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank,
bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
2. Sektor
kawasan industri ringan dan perdagangan.
3. Sektor
kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh.
4. Sektor
permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
5. Sektor
permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri
dari para eksekutif dan pejabat.
- Teori Inti Berganda (Harris dan Ullman, 1945)
Teori Inti
Berganda
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat
kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi
sebagai salah satu growing points. Zona ini menampung sebagian besar
kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat
distrik spesialisasi pelayanan, seperti retailing, distrik khusus
perbankan, teater dan lain-lain. Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang
disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK
atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk
bundar.
1. Pusat
kota atau Central Business District (CBD).
2. Kawasan
niaga dan industri ringan.
3. Kawasan
murbawisma atau permukiman kaum buruh.
4. Kawasan
madyawisma atau permukiman kaum pekerja menengah.
5. Kawasan
adiwisma atau permukiman kaum kaya.
6. Pusat industri
berat.
7. Pusat
niaga/perbelanjaan lain di pinggiran.
8. Upakota,
untuk kawasan mudyawisma dan adiwisma.
9. Upakota (sub-urban)
kawasan industri
- Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955).
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota
dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis
besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat
tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal.
Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan
(retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang
tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.
- Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980)
Teori Konsektoral dilandasi oleh struktur ruang kota
di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD
merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di
daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai
historis dari daerah tersebut. Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK
atau CBD di kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk
kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk
golongan ekonomi lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal
sementara para imigran.
- Teori Historis (Alonso, 1964)
DPK atau CBD dalam teori ini merupakan pusat segala
fasilitas kota dan merupakan daerah dengan daya tarik tersendiri dan
aksesibilitas yang tinggi.
- Teori Poros (Babcock, 1960)
Menitikberatkan pada peranan transportasi dalam
mempengaruhi struktur keruangan kota. Asumsinya adalah mobilitas fungsi-fungsi
dan penduduk mempunyai intensitas yang sama dan topografi kota seragam. Faktor
utama yang mempengaruhi mobilitas adalah poros transportasi yang menghubungkan
CBD dengan daerah bagian luarnya. Aksesibilitas memperhatikan biaya waktu dalam
sistem transportasi yang ada. Sepanjang poros transportasi akan mengalami
perkembangan lebih besar dibanding zona diantaranya. Zona yang tidak terlayani
dengan fasilitas transportasi yang cepat.
Permukiman kota tidak bisa lepas dari
bentuk fisik buatan manusia (urban artifact) dalam skala besar yang
dapat menggambarkan nilai-nilai kultural masyarakat yang ada didalamnya.
Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Eko Budiharjo (1993), bahwa karya-karya
arsitektur tampil sebagai wajah kota yang dihasilkan oleh pemeran dan pelaku
pembangunan sesuai dengan latar belakang budaya masyarakat. Dalam permukiman
kota penampilannya sering bersifat simbolis, berskala manusia, memiliki
kekhasan dengan mosaik kultural yang beragam dan menampilkan perkembangan ruang
dan massa dalam kurun waktu tertentu.
Di dalam wilayah perkotaan juga
menyuguhkan mosaik permukiman masyarakat yang khas dengan motif dominasi
tunggal dalam skala kawasan. Keberadaan aset ini dapat mengisahkan, tata cara
hidup, budaya dan peradapan masyarakatnya. Ini dapat mengungkapkan hasil karya
arsitektur kota sebagai social work of art, sehingga harus ada
usaha pengungkapan karya budaya lokal yang telah terbukti menciptakan rasa
tempat (sense of place), rasa memiliki dan rasa kebanggaan bagi warga
kota serta menjadi identitas pada kawasan kota tersebut. Permukiman kota disini
dapat dilihat lingkungan fisik yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai
sosial-budaya masyarakat. Menurut Rapoport (1969), yang merupakan produk budaya
tertentu merupakan aset, didalamnya mengandung makna atau konsepsi yang dapat
digali keberhasilan dan kegagalan suatu bentuk penanganan fisik lingkungan.
Terdapat lima tahap kontras yang
menunjukkan sikap pemerintah terhadap penyediaan permukiman kota, antara lain :
1. Tahap I (Tahun
1950 - 1960-an) :
Pemerintah negara
berkembang hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai akar dari
permasalahan ekonomi, sedangkan pertumbuhan ekonomi semestinya tumbuh dan
pendapatan semestinya meningkat. Pada tahapan ini pemerintah masih tidak
mempunyai aksi, hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai akar dari
permasalahan ekonomi saja.
2. Tahap II (Tahun
1960-1970-an) :
Pemerintah mulai
menyadari bahwa permukiman informal dilihat sebagai masalah sosial. Pada
tahapan ini pemerintah mengerahkan institusi dan dana untuk pembangunan public
housing (misal : rumah susun) dan permukiman kumuh(slum area) dilenyapkan
(salah satunnya dengan cara penggusuran).
3. Tahap III (Tahun
1970-1980-an) :
Pemerintah mulai
menyadari bahwa permukiman informal dapat dianggap sebagai permukiman permanen
dari kota (kondisi ini dianggap bahaya yang jika tidak ditangani). Pada tahapan
ini pemerintah yang pada umumnya ingin eksistensi negara berkembang menjadi
negara maju mengadakan adanya program rumah inti (site and service
program).
4. Tahap IV (Tahun
1980-1990-an) :
Pemerintah sudah sadar
bahwa bahwa penduduk yang tinggal di pemukiman informal telah
berkontribusi banyak untuk ekonomi kota dengan apa yang disebut sebagai sektor
informal, seperti penyediaan tenaga kerja (buruh) dan barang murah. Pada
tahapan ini pemerintah lebih meningkatkan program pada tahapan III untuk
merealisasikannya, tidak perlu melalui proses penggusuran.
5. Tahap V (Tahun
1990-sekarang) :
Pemerintah sudah
menyadari bahwa perlu adanya institusi atau kelembagaan khusus yang memikirkan
proses di tahap IV agar dapat terakomodasi, salah satunya yaitu pemerintah
harus memberikan tindakan yang berorientasi dalam mendukung kegiatan/ usaha
para penghuni permukiman informal. Pada tahapan ini pemerintah memastikan
adanya sumber daya untuk membangun rumah tersedia dan terjangkau untuk semua
kalangan (khususnya bagi para penghuni perumahan informal yang tergolong
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah).
C.
Permasalahan Permukiman Kota
Menurut Kirmanto (2002), isu-isu
perkembangan permukiman yang ada pada saat ini adalah (1) perbedaan peluang
antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh ketimpangan pada pelayanan
infrastruktur, pelayanan perkotaan, perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha;
(2) konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada suatu
kelompok dalam pembangunan perumahan dan permukiman; (3) alokasi tanah dan
ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan perumahan yang cenderung
mempengaruhi tata ruang sehingga berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang
tidak sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah
yang bersangkutan; (4) terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang
mengalami tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi
sumber daya alam; dan (5) komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan
yang terfokus pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru,
berorientasi ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan
menguntungkan. Kirmanto (2002) juga menyebutkankan isu-isu perkembangan
pembangunan permukiman yang akan datang ialah (1) urbanisasi di daerah tumbuh
cepat sebagai tantangan bagi pemerintah untuk secara positif berupaya agar
pertumbuhan lebih merata; (2) perkembangan tak terkendali daerah yang memiliki
potensi untuk tumbuh; dan (3) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional
dan global.Pengertian kota secara sistematis dapat dikelompokkan menjadi enam
tinjauan, yakni dari segi (1) yuridis administratif, (2) morfologikal, (3)
jumlah penduduk, (4) kepadatan penduduk, (5) jumlah penduduk plus kriteria
tertentu, dan (6) fungsi kota dalam suatu organic region (Yunus 1989). Menurut
Bintarto (1983), kota dari segi geografi dapat diartikan sebagai suatu sistem
jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi
dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang
materialistis, atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang
ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan
penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan
meterialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya. Menurut Yunus (1987),
permasalahan permukiman perkotaan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan
upaya penyediaan air bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan
kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya
kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah. Bintarto (1983) melihat
kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup kota dari dua segi, yakni (1) dari
segi fisis, berupa gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam, seperti air
yang sudah tercemar dan udara yang sudah tercemar, serta (2) dari segi
masyarakat atau segi sosial, berupa gangguan yang ditimbulkan oleh manusia
sendiri dan dapat menimbulkan kehidupan yang tidak tenang dan tidak tenteram.
Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah perkotaan adalah
luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan material bangunan yang dari
waktu kewaktu semakin bertambah mahal, serta kebutuhan masyarakat yang semakin
meningkat. Kondisi semacam ini mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan,
bahkan seringkali menumbuhkan pemukiman kumuh (Keman 2005).
PENUTUP
Pemukiman
kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh
kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai
fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Teori-teori
yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal yaitu:
·
Teori Konsentris
·
Teori Sektoral
·
Teori Inti Berganda
·
Teori Ketinggian Bangunan
·
Teori Konsektoral
·
Teori Historis
·
Teori Poros
Permukiman kota tidak
bisa lepas dari bentuk fisik buatan manusia (urban artifact) dalam skala
besar yang dapat menggambarkan nilai-nilai kultural masyarakat yang ada
didalamnya.
Menurut Kirmanto (2002), isu-isu perkembangan
permukiman yang ada pada saat ini adalah (1) perbedaan peluang antar pelaku
pembangunan yang ditunjukkan oleh ketimpangan pada pelayanan infrastruktur,
pelayanan perkotaan, perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha; (2) konflik
kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada suatu kelompok
dalam pembangunan perumahan dan permukiman; (3) alokasi tanah dan ruang yang
kurang tepat akibat pasar tanah dan perumahan yang cenderung mempengaruhi tata
ruang sehingga berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai
dengan tujuan-tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah yang
bersangkutan; (4) terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang
mengalami tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi
sumber daya alam; dan (5) komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan
yang terfokus pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru,
berorientasi ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan
menguntungkan.